Selasa, 26 Juli 2011

SHOLAT TARWIH


Hukum Shalat Tarawih

Hukum shalat tarawih adalah mustahab (sunnah), sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam An-Nawawi t ketika menjelaskan tentang sabda Nabi n yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah z:

“Barangsiapa menegakkan Ramadhan dalam keadaan beriman dan mengharap balasan dari Allah k, niscaya diampuni dosa yang telah lalu.” (Muttafaqun ‘alaih)

“Yang dimaksud dengan qiyamu Ramadhan adalah shalat tarawih dan ulama telah bersepakat bahwa shalat tarawih hukumnya mustahab (sunnah).” (Syarh Shahih Muslim, 6/282). Dan beliau menyatakan pula tentang kesepakatan para ulama tentang sunnahnya hukum shalat tarawih ini dalam Syarh Shahih Muslim (5/140) dan Al-Majmu’ (3/526).

Ketika Al-Imam An-Nawawi t menafsirkan qiyamu Ramadhan dengan shalat tarawih maka Al-Hafizh Ibnu Hajar t memperjelas kembali tentang hal tersebut: “Maksudnya bahwa qiyamu Ramadhan dapat diperoleh dengan melaksanakan shalat tarawih dan bukanlah yang dimaksud dengan qiyamu Ramadhan hanya diperoleh dengan melaksanakan shalat tarawih saja (dan meniadakan amalan lainnya).” (Fathul Bari, 4/295)

Mana yang lebih utama dilaksanakan secara berjamaah di masjid atau sendiri-sendiri di rumah?

Dalam masalah ini terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama, yang utama adalah dilaksanakan secara berjamaah.

Ini adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i dan sebagian besar sahabatnya, juga pendapat Abu Hanifah dan Al-Imam Ahmad (Masaailul Imami Ahmad, hal. 90) dan disebutkan pula oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (2/605) dan Al-Mirdawi dalam Al-Inshaf (2/181) serta sebagian pengikut Al-Imam Malik dan lainnya, sebagaimana yang telah disebutkan Al-Imam An-Nawawi t dalam Syarh Shahih Muslim (6/282).

Pendapat ini merupakan pendapat jumhur ulama (Al-Fath, 4/297) dan pendapat ini pula yang dipegang Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani t, beliau berkata: “Disyariatkan shalat berjamaah pada qiyam bulan Ramadhan, bahkan dia (shalat tarawih dengan berjamaah) lebih utama daripada (dilaksanakan) sendirian…” (Qiyamu Ramadhan, hal.19-20).

Pendapat kedua, yang utama adalah dilaksanakan sendiri-sendiri.

Pendapat kedua ini adalah pendapat Al-Imam Malik dan Abu Yusuf serta sebagian pengikut Al-Imam Asy-Syafi’i. Hal ini sebutkan pula oleh Al-Imam An-Nawawi (Syarh Shahih Muslim, 6/282).

Adapun dasar masing-masing pendapat tersebut adalah sebagai berikut:
Dasar pendapat pertama:

1. Aisyah beliau berkata:

“Sesungguhnya Rasulullah pada suatu malam shalat di masjid lalu para shahabat mengikuti shalat beliau, kemudian pada malam berikutnya (malam kedua) beliau shalat maka manusia semakin banyak (yang mengikuti shalat Nabi n), kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau malam keempat. Maka Rasulullah tidak keluar pada mereka, lalu ketika pagi harinya beliau n bersabda: ‘Sungguh aku telah melihat apa yang telah kalian lakukan, dan tidaklah ada yang mencegahku keluar kepada kalian kecuali sesungguhnya aku khawatir akan diwajibkan pada kalian,’ dan (peristiwa) itu terjadi di bulan Ramadhan.” (Muttafaqun ‘alaih)

  • Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Dalam hadits ini terkandung bolehnya shalat nafilah (sunnah) secara berjamaah akan tetapi yang utama adalah shalat sendiri-sendiri kecuali pada shalat-shalat sunnah yang khusus seperti shalat ‘Ied dan shalat gerhana serta shalat istisqa’, dan demikian pula shalat tarawih menurut jumhur ulama.” (Syarh Shahih Muslim, 6/284 dan lihat pula Al-Majmu’, 3/499;528)
  • Tidak adanya pengingkaran Nabi n terhadap para shahabat yang shalat bersamanya (secara berjamaah) pada beberapa malam bulan Ramadhan. (Al-Fath, 4/297 dan Al-Iqtidha’, 1/592)

2. Hadits Abu Dzar z beliau berkata, Rasulullah bersabda:

“Sesungguhnya seseorang apabila shalat bersama imam sampai selesai maka terhitung baginya (makmum) qiyam satu malam penuh.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah)

Hadits ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan Abi Dawud (1/380). Berkenaan dengan hadits di atas, Al-Imam Ibnu Qudamah mengatakan: “Dan hadits ini adalah khusus pada qiyamu Ramadhan (tarawih).” (Al-Mughni, 2/606)

Asy-Syaikh Al-Albani t berkata: “Apabila permasalahan seputar antara shalat (tarawih) yang dilaksanakan pada permulaan malam secara berjamaah dengan shalat (yang dilaksanakan) pada akhir malam secara sendiri-sendiri maka shalat (tarawih) dengan berjamaah lebih utama karena terhitung baginya qiyamul lail yang sempurna.” (Qiyamu Ramadhan, hal. 26)

3. Perbuatan ‘Umar bin Al-Khaththab dan para shahabat lainnya (Syarh Shahih Muslim, 6/282), ketika ‘Umar bin Al-Khaththab z melihat manusia shalat di masjid pada malam bulan Ramadhan, maka sebagian mereka ada yang shalat sendirian dan ada pula yang shalat secara berjamaah kemudian beliau mengumpulkan manusia dalam satu jamaah dan dipilihlah Ubai bin Ka’b z sebagai imam (lihat Shahih Al-Bukhari pada kitab Shalat Tarawih).

4. Karena shalat tarawih termasuk dari syi’ar Islam yang tampak maka serupa dengan shalat ‘Ied. (Syarh Shahih Muslim, 6/282)

5. Karena shalat berjamaah yang dipimpin seorang imam lebih bersemangat bagi keumuman orang-orang yang shalat. (Fathul Bari, 4/297)

Dalil pendapat kedua:

Hadits dari shahabat Zaid bin Tsabit z, sesungguhnya Nabi n bersabda: “Wahai manusia, shalatlah di rumah kalian! Sesungguhnya shalat yang paling utama adalah shalatnya seseorang yang dikerjakan di rumahnya kecuali shalat yang diwajibkan.” (Muttafaqun ‘alaih)

Dengan hadits inilah mereka mengambil dasar akan keutamaan shalat tarawih yang dilaksanakan di rumah dengan sendiri-sendiri dan tidak dikerjakan secara berjamaah. (Nashbur Rayah, 2/156 dan Syarh Shahih Muslim, 6/282)

Pendapat yang rajih (kuat) dalam masalah ini adalah pendapat pertama karena hujjah-hujjah yang telah tersebut di atas. Adapun jawaban pemegang pendapat pertama terhadap dasar yang digunakan oleh pemegang pendapat kedua adalah:

  • Bahwasanya Nabi n memerintahkan para shahabat untuk mengerjakan shalat malam pada bulan Ramadhan di rumah mereka (setelah para shahabat sempat beberapa malam mengikuti shalat malam secara berjamaah bersama Nabi n), karena kekhawatiran beliau n akan diwajibkannya shalat malam secara berjamaah (Fathul Bari, 3/18) dan kalau tidak karena kekhawatiran ini niscaya beliau akan keluar menjumpai para shahabat (untuk shalat tarawih secara berjamaah) (Al-Iqtidha’, 1/594). Dan sebab ini (kekhawatiran beliau n akan menjadi wajib) sudah tidak ada dengan wafatnya Nabi n. (Al-‘Aun, 4/248 dan Al-Iqtidha’, 1/595), karena dengan wafatnya beliau n maka tidak ada kewajiban yang baru dalam agama ini.

Dengan demikian maka pemegang pendapat pertama telah menjawab terhadap dalil yang digunakan pemegang pendapat kedua. Wallahu a’lam.

Waktu Shalat Tarawih

Waktu shalat tarawih adalah antara shalat ‘Isya hingga terbit fajar sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya), "Sesungguhnya Allah telah menambah shalat pada kalian dan dia adalah shalat witir. Maka lakukanlah shalat witir itu antara shalat ‘Isya hingga shalat fajar." (HR. Ahmad, Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani berkata, "(Hadits) ini sanadnya shahih", sebagaimana dalam Ash-Shahihah, 1/221 no.108)

Jumlah Rakaat dalam Shalat Tarawih


Kemudian untuk jumlah rakaat dalam shalat tarawih adalah 11 rakaat berdasarkan:


(1) Hadits yang diriwayatkan dari Abu Salamah bin ‘Abdurrahman, beliau bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang sifat shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Ramadhan, beliau menjawab (yang artinya), "Tidaklah (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) melebihkan (jumlah rakaat) pada bulan Ramadhan dan tidak pula pada selain bulan Ramadhan dari 11 rakaat." (HR. Al-Imam Al-Bukhari)


‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam hadits di atas mengisahkan tentang jumlah rakaat shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah beliau saksikan sendiri yaitu 11 rakaat, baik di bulan Ramadhan atau bulan lainnya. "Beliaulah yang paling mengetahui tentang keadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di malam hari dari lainnya." (Fathul Bari, 4/299)


Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani berkata, "(Jumlah) rakaat (shalat tarawih) adalah 11 rakaat, dan kami memilih tidak lebih dari (11 rakaat) karena mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya beliau tidak melebihi 11 rakaat sampai beliau wafat." (Qiyamu Ramadhan, hal. 22)

(2) Dari Saaib bin Yazid beliau berkata: "’Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu memerintahkan pada Ubai bin Ka’b dan Tamim Ad-Dari untuk memimpin shalat berjamaah sebanyak 11 rakaat." (HR. Al-Imam Malik, lihat Al-Muwaththa Ma’a Syarh Az-Zarqani, 1/361 no. 249)


Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani berkata dalam Al-Irwa (2/192) tentang hadits ini, "(Hadits) ini isnadnya sangat shahih." Asy-Syaikh Muhammad Al-’Utsaimin berkata, "Dan (hadits) ini merupakan nash yang jelas dan perintah dari ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, dan (perintah itu) sesuai dengannya karena beliau termasuk manusia yang paling bersemangat dalam berpegang teguh dengan As Sunnah, apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melebihkan dari 11 rakaat maka sesungguhnya kami berkeyakinan bahwa ‘Umar akan berpegang teguh dengan jumlah ini (yaitu 11 rakaat)." (Asy-Syarhul Mumti’)

Adapun pendapat yang menyatakan bahwa shalat tarawih itu jumlahnya 23 rakaat adalah pendapat yang lemah karena dasar yang digunakan oleh pemegang pendapat ini hadits-hadits yang lemah. Di antara hadits-hadits tersebut:


(1) Dari Yazid bin Ruman beliau berkata, "Manusia menegakkan (shalat tarawih) di bulan Ramadhan pada masa ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu 23 rakaat." (HR. Al-Imam Malik, lihat Al-Muwaththa Ma’a Syarh Az-Zarqaani, 1/362 no. 250)


Al-Imam Al-Baihaqi berkata, "Yazid bin Ruman tidak menemui masa ‘Umar radhiyallahu ‘anhu". (Nukilan dari kitab Nashbur Rayah, 2/154) (maka sanadnya munqothi/terputus, red). Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani men-dha’if-kan hadits ini sebagaimana dalam Al-Irwa (2/192 no. 446).


(2) Dari Abu Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman dari Hakam dari Miqsam dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, "Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di bulan Ramadhan 20 rakaat dan witir." (HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Awsath, 5/324 no. 5440 dan 1/243 no. 798, dan dalam Al-Mu’jamul Kabir, 11/311 no. 12102)


Al-Imam Ath-Thabrani berkata, "Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dari Hakam kecuali Abu Syaibah dan tidaklah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas kecuali dengan sanad ini saja." (Al-Mu’jamul Ausath, 1/244)


Dalam kitab Nashbur Rayah (2/153) dijelaskan, "Abu Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman adalah perawi yang lemah menurut kesepakatan, dan dia telah menyelisihi hadits yang shahih riwayat Abu Salamah, sesungguhnya beliau bertanya pada ‘Aisyah, "Bagaimana shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan? (yaitu dalil pertama dari pendapat yang pertama)." Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani menyatakan bahwa hadits ini maudhu’ (palsu). (Adh-Dha’ifah, 2/35 no. 560 dan Al-Irwa, 2/191 no. 445)


Sebagai penutup kami mengingatkan tentang kesalahan yang terjadi pada pelaksanaan shalat tarawih yaitu dengan membaca dzikir-dzikir atau doa-doa tertentu yang dibaca secara berjamaah pada tiap-tiap dua rakaat setelah salam. Amalan ini adalah amalan yang bid’ah (tidak diajarkan oleh nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Wallahu a’lam.

Sumber : http://ghuroba.blogsome.com/2007/09/17/shalat-tarawih/

http://westjava.org/hukum-dalil-shalat-tarawih-berdasarkan-hadist-rasulullah/

Minggu, 24 Juli 2011

Shaf dan Posisi Jama'ah dalam Sholat




Di antara syari’at yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya adalah meluruskan dan merapatkan shaf dalam shalat berjamaah.


Hari ini, sunnah merapatkan dan meluruskan shaf seakan menjadi usang dan lekang oleh kaum muslimin. Padahal, barangsiapa yang melaksanakan syari’at, petunjuk dan ajaran-ajaran Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam meluruskan dan merapatkan shaf, sungguh dia telah menunjukkan ittiba’ nya (mengikuti) dan hakikat kecintaannya kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.

Shalat berjamaah merupakan amal yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam . Sebagaimana sabdanya, “Shalat berjamaah lebih afdhal dari shalat sendirian dua puluh derajat”. Ketika shalat berjamaah, meluruskan dan merapatkan shaf (barisan) sangat diperintahkan, sebagaimana di dalam sabda Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam, Artinya, “Luruskan shafmu, karena sesungguhnya meluruskan shaf itu merupakan bagian dari kesempurnaan shalat”. (Muttafaq ‘Alaih).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, artinya : “Apakah kalian tidak berbaris sebagaimana berbarisnya para malaikat di sisi Rabb mereka ?” Maka kami (para sahabat) berkata: “Wahai Rasulullah , bagaimana berbarisnya malaikat di sisi Rabb mereka ?” Beliau menjawab : “Mereka menyempurnakan barisan-barisan (shaf-shaf), yang pertama kemudian (shaf) yang berikutnya, dan mereka merapatkan barisan” (HR. Muslim, An Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah).

Berkata Ibnu Hazm rahimahullahu : hadits ini dan hadits-hadits lain yang semisal merupakan dalil wajibnya merapikan shaf sebelum shalat dimulai. Karena menyempurnakan shalat itu wajib, sedang kerapihan shaf merupakan bagian dari kesempurnaan shalat, maka merapikan shaf merupakan kewajiban. Juga lafaz amr (perintah) dalam hadits di atas menunjukkan wajib. Selain itu, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam setiap memulai shalat, selalu menghadap kepada jamaah dan memerintahkan untuk meluruskan shaf.

Teladan dari Nabi dan Para Shahabat

Umar bin Khaththab pernah memukul Abu Utsman An-Nahdi karena ke luar dari barisan shalatnya. Juga Bilal pernah melakukan hal yang sama, seperti yang dikatakan oleh Suwaid bin Ghaflah bahwa Umar dan Bilal pernah memukul pundak kami dan mereka tidak akan memukul orang lain, kecuali karena meninggalkan sesuatu yang diwajibkan (Fathul Bari juz 2 hal 447). Itulah sebabnya, ketika Anas tiba di Madinah dan ditanya apa yang paling anda ingkari, beliau berkata, “Saya tidak pernah mengingkari sesuatu melebihi larangan saya kepada orang yang tidak merapikan shafnya.” (HR. A-Bukhari).

Bahkan Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam sebelum memulai shalat, beliau berjalan merapikan shaf dan memegang dada dan pundak para sahabat dan bersabda, “Wahai sekalian hamba Allah! Hedaklah kalian meluruskan shaf-shaf kalian atau (kalau tidak), maka sungguh Allah akan membalikkan wajah-wajah kalian.” (HR. Al-Jama’ah, kecuali al-Bukhari).

Di dalam riwayat Abu Hurairah, dia berkata, “Rasulullah biasa masuk memeriksa ke shaf-shaf mulai dari satu ujung ke ujung yang lain, memegang dada dan pundak kami seraya bersabda, “Janganlah kalian berbeda (tidak lurus shafnya), karena akan menjadikan hati kalian berselisih” (HR. Muslim).

Imam Al-Qurthubi berkata, “Yang dimaksud dengan perselisihan hati pada hadits di atas adalah bahwa ketika seorang tidak lurus di dalam shafnya dengan berdiri ke depan atau ke belakang, menunjukkan kesombongan di dalam hatinya yang tidak mau diatur. Yang demikian itu, akan merusak hati dan bisa menimbulkan perpecahan (Fathul Bari juz 2 hal 443). Pendapat ini juga didukung oleh Imam An-Nawawi, beliau berkata, berbeda hati maksudnya terjadi di antara mereka kebencian dan permusuhan dan pertentangan hati. Perbedaan ketika bershaf merupakan perbedaan zhahir dan perbedaan zhahir merupakan wujud dari perbedaan bathin yaitu hati.

Susunan Shaf Shalat

Berdiri di dalam shaf bukan hanya sekedar berbaris lurus, tetapi juga dengan merapatkan kaki dan pundak antara satu dengan yang lainnya seperti yang dilakukan oleh para shahabat. Diriwayatkan oleh Ibnu Umar Radhiallaahu anhu Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, Artinya “Rapatkankan shaf, dekatkan (jarak) antara shaf-shaf itu dan ratakan pundak-pundak.” (HR. Abu Daud dan An-Nasai, dishahihkan oleh Ibnu Hibban).

Hadits dari Nu’man Bin Basyir, beliau berkata : “Dan aku melihat semua laki – laki yang shalat saling mendekatkan antara pundak dengan pundak lainnya dan mata kaki dengan mata kaki lainnya “ (HR. Bukhari).

Di dalam riwayat lain oleh Abu Dawud Rasulullah bersabda, Artinya “Demi jiwaku yang ada di tanganNya, saya melihat syaitan masuk di celah-celah shaf, sebagaimana masuknya anak kambing.”

Posisi Makmum di Dalam Shalat

Apabila imam shalat berjamaah hanya dengan seorang makmum, maka dia (makmum) disunnahkan berdiri di sebelah kanan imam(sejajar dengannya), sebagaimana yang diceritakan oleh Ibnu Abbas bahwa beliau pernah shalat berjamaah bersama Rasulullah Shalallaju ‘alaihi wa sallam pada suatu malam dan berdiri di sebelah kirinya. Maka Rasulullah Shalallaju ‘alaihi wa sallam memegang kepala Ibnu Abbas dari belakang lalu memindahkan di sebelah kanannya (Muttafaq ‘Alaih). Dan hal ini juga berlaku pada wanita.

Apabila makmum terdiri dari dua orang atau lebih, maka mereka berada di belakang imam, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Jabir radhiallahi ‘anhu, beliau berkata : Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berdiri shalat maghrib, lalu aku dating dan berdiri di samping kirinya. Maka beliau menarik diriku dan dijadikan di sampng kanannya. Tiba – tiba sahabatku dating (untuk shalat), lalu kami berbaris di belakang beliau dan shalat bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (HR. Ahmad).

Adapun pendapat Kufiyyun (Ulama-ulama’ Kufah) yang mengatakan bahwa kalau makmum terdiri dari dua orang maka yang satunya berdiri di sebelah kanan Imam dan yang lainnya di sebelah kirinya, maka hal itu dibantah oleh Ibnu Sirin, seperti yang diriwayatkan oleh Attahawi bahwa yang demikian itu hanya boleh diamalkan, ketika shalat di tempat yang sempit yang tidak cukup untuk membuat shaf di belakang.

Lain halnya pada wanita. Apabila makmum makmum terdiri dari dua orang atau lebih, maka mereka berada masing – masing berada di samping kiri dan kanan sejajar dengan imam. Atau menempatkan imam wanita di tengah shaf.

Sebagaimana hadits bahwa ‘Aisyah radhiallahu ‘anha shalat menjadi imam bagi kaum wanita dan beliau berdiri di tengah shaff (HR. Baihaqi, Hakim, Daruquthni dan Ibnu abi Syaibah).

Apabila shalat berjamaah terdiri dari satu imam laki – laki dan satu makmum wanita, maka wanita berdiri di belakang imam. Hadits dari Anas bin Malik : “Rasulullah shalat maka saya dan seorang anak yatim berdiri di belakangnya dan Ummu Sulaim berdiri di belakang kami” (Muttafaq ‘Alaih).

Hadits di atas juga menjelaskan bahwa makmum wanita mengambil posisi di belakang laki-laki, sekali pun harus bershaf sendirian. Dan dia tidak boleh bershaf di samping laki-laki, apalagi di depannya. Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang pertama dan seburuk-buruknya adalah yang terakhir. Sebaliknya bagi wanita, sebaik-baik shaf baginya adalah yang terakhir dan yang paling buruk adalah yang pertama. (HR. Muslim dari Abu Hurairah). Dan shaf yang paling afdhal adalah di sebelah kanannya imam. Dan dari situlah dimulainnya membuat shaf baru, sebagaimana yang dikata-kan oleh Barra’ bin ‘Azib dengan sanad yang shahih. Menyempurnakan shaf terdepan adalah yang dilakukan oleh para malaikat, ketika berbaris di hadapan Allah.

Apabila shalat berjamaah terdiri dari, satu imam, satu makmum dan satu jamaah wanita, maka dalam hal ini, kita memadukan antara riwayat hadits dari sahabat Ibnu Abbas dan Anas bin Malik di atas (lihat gambar). Yakni makmum berdiri sejajar di samping kanan imam dan makmum wanita berada di belakang mereka.


Apabila dalam shalat berjamaah terdapat makmum anak laki- laki, maka shaf anak laki – laki ditempatkan di belakng shaf laki – laki dewasa. Sebagaimana hadits dari Abu Malik al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjadikan shaf laki – laki di depan anak – anak, (dan) anak – anak di belakang mereka sedangkan kaum wanita di belakang anak- anak (HR. Ahmad).

Markaz al Fatwa menyebutkan bahwa yang paling utama adalah menempatkan anak-anak di belakang shaff laki-laki dewasa. Akan tetapi jika dikhawatirkan anak-anak itu akan bisa mengganggu orang-orang yang shalat atau ada shaff yang kurang penuh maka bariskanlah anak-anak itu bersama laki-laki dewasa. Dan ini tidaklah termasuk kedalam memutus shaff apabila usia anak-anak itu termasuk kedalam usia tamyiz dan dalam keadaan suci (berwudhu) dan jauh dari kemungkinan bahwa anak-anak itu tidak dalam keadaan bersuci. (Markaz al Fatwa, fatwa No. 35652)

Jika anak itu belum masuk usia tamyiz maka tidak seharusnya dia ditempatkan di tengah-tengah shaff agar tidak memutus shaff akan tetapi jika pun terpaksa ditempatkan di tengah-tengah saf maka tidaklah mempengaruhi kesahan shalat para jama’ah yang tersisa… Pada dasarnya shalat seorang makmum tidaklah batal dengan batalnya shalat salah seorang dari makmum yang lain...” (Markaz al Fatwa, fatwa No. 44924).

Adapun usia tamyiz seorang anak menurut Syeikh Ibnu Utsaimin adalah umumnya 7 tahun akan tetapi terkadang seorang anak sudah mencapai tamyiz di usia 5 tahun. Mahmud bin ar Rabi’ berkata.”Aku teringat bahwa wajahku pernah dimuntahi oleh Rasulullah saw satu kali sementara (saat itu) aku masih berusia 5 tahun.”

Ada sebagian anak-anak kecil yang sudah pandai dan mampu membedakan (tamyiz) di usia yang masih kecil sementara ada sebagian lainnya yang sudah baligh di usia 18 tahun namun dirinya belum tamyiz.” (Liqo’ al Bab al Maftuh juz 13 hal 37).

Faedah :

Dibolehkan seorang makmum shalat di lantai dua dari masjid atau dipisahkan dengan tembok atau lainnya dari imam, selama dia mendengar suara takbir imam. Sebagaimana yang dikatakan oleh Hasan, “Tidak mengapa kamu shalat berjamaah dengan imam, walaupun di antara kamu dan imam ada sungai”. Ditambahkan oleh Abu Mijlaz, selama mendengar takbirnya imam (Shahih Al-Bukhari). Dan sebagian ulama juga menyaratkan harus bersambungnya shaf, namun hal ini masih diperdebatkan di antara para ulama. Juga kisah qiyamuramadhan (shalat tarawih), yang pertama kali yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam .

Larangan Membuat Shaf Sendirian

Seorang makmum dilarang membuat shaf sendirian, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Wabishah bin Mi’bad, bahwa Rasulullah melihat seseorang shalat di belakang shaf sendirian, maka beliau memerintahkan untuk mengulang shalatnya (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban).
Dan pada riwayat Thalq bin Ali ada tambahan, “Tidak ada shalat bagi orang yang bersendiri di belakang shaf”. Walaupun demikian sebagian ulama’ tetap menyatakan sah shalat seorang yang berdiri sendiri dalam satu shaf karena alasan hadits di atas sanadnya mudltharib (simpang siur), sebagai-mana yang dikatakan oleh Ibnu Abdil Barr.
Menurut Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, jika seseorang menjumpai shaf yang sudah penuh, sementara ia sendirian dan tidak ada yang ditunggu, maka boleh baginya shalat sendiri di belakang shaf itu. Karena apabila ada larangan berhada-pan dengan kewajiban (jamaah bersama imam), maka di dahulu-kan yang wajib.

Mengisi Kekosongan


Untuk menjaga keutuhan shaf boleh saja seorang maju atau bergeser ketika mendapatkan ada shaf yang terputus. Sabda Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam yang diriwayatkan oleh Abu Juhaifah beliau bersabda, “Barangsiapa yang meme-nuhi celah yang ada pada shaf maka Allah akan mengampuni dosanya.” (HR. Bazzar dengan sanad hasan).

Tiada langkah paling baik melebihi yang dilakukan oleh seorang untuk menutupi celah di dalam shaf. Dan semakin banyak teman dan shaf dalam shalat berjamaah akan semakin afdhal, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ubay bin Ka’ab, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, Artinya “Shalat seorang bersama seorang lebih baik daripada shalat sendirian dan shalatnya bersama dua orang lebih baik daripada shalatnya bersama seorang. Dan bila lebih banyak maka yang demikian lebih disukai oleh Allah ‘Azza wa Jalla.” (Muttafaq ‘Alaih).

Dan ketika memasuki shaf untuk shalat disunahkan untuk melakukannya dengan tenang tidak terburu-buru, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abi Bakrah, bahwasanya ia shalat dan mendapati Nabi sedang ruku’ lalu dia ikut ruku’ sebelum sampai kepada shaf, maka Nabi berkata kepadanya, Artinya “Semoga Allah menambahkan kepadamu semangat (kemauan), tetapi jangan kamu ulangi lagi.” (HR. Al Bukhari) dan dalam riwayat Abu Daud ada tambahan: “Ia ruku’ sebelum sampai di shaf lalu dia berjalan menuju shaf.” Wallahu A'lam.

Sumber :http://ababildaffaa.blogspot.com/2011/03/lurus-dan-rapatkan-shaf-kalian.html

Jumat, 22 Juli 2011

Logo 3




Logo2





logo





Kamis, 21 Juli 2011

Ciri-ciri Pribadi Muslim Sejati

Sumber: Ustaz Ashaari bin Muhammad
Kita tahu bahwa Islam itu bertolak daripada iman. Namun iman saja tidak mencukupi. Ia perlu juga ilmu dan amal.
Islam itu ialah iman, ilmu dan amal. Tanpa ketiga-tiga elemen ini, maka Islam tidak akan terlaksana pada pribadi seorang Muslim.
Untuk mencapai tujuanini, roh dan akal mesti berperanan. Disamping itu seseorang muslim perlu mendapat pimpinan. Ketiga-tiga pengaruh ini wajib ada. Kalau tidak pribadi Muslim itu akan jadi cacat dan tidak sempurna.
Peranan Roh
Roh berperanan dalam soal iman. Roh melibatkan soal kepercayaan dan keyakinan. Tentang akidah dan pegangan. Tentang keimanan kepada Tuhan dan hari Akhirat. Tentang rasa cinta dan takut dengan Tuhan.
Namun kalau peranan roh saja yang wujud tanpa ada peranan akal dan kepimpinan, maka seseorang itu akan menjadi fanatik. Dia akan menjadi taksub secara membuta. Perasaannya tidak seimbang dan sukar untuk dikawal. Dia ingin bertindak, beramal dan membuat sesuatu tetapi tidak tahu bagaimana dan apa caranya. Pertimbangannya juga tidak seimbang dan berat sebelah. Dia akan menjadi orang yang berjiwa tetapi kaku. Dia mau bergerak tetapi tidak tahu bagaimana hendak menyusun langkah.
Peranan Akal
Akal berperanan dalam soal ilmu. Ia berkait dengan penyampaian dan penerimaan ilmu. Tentang ta’alim atau pengajian. Tentang pembelajaran. Peranan akal membuat seseorang itu menjadi alim dan bepengetahuan. Namun kalau peranan akal saja yang wujud dan peranan roh dan kepimpinan tidak ada, maka seseorang itu akan menjadi ahli ilmu yang tidak cinta dan tidak takut dengan Tuhan. Yang tidak ada cita-cita akhirat.
Ilmunya akan digunakan untuk dunia semata-mata. Ilmunya akan dijual dan dikomersialkan. Ilmunya akan ditukar menjadi duit dan harta kekayaan. Ilmunya hanya untuk bermujadalah (berdebat), berforum dan berseminar. Untuk mendapat pujian, uang , pangkat, jawatan dan nama. Ilmunya tidak memberi hasil pada pribadinya.
Dia tidak dapat beramal dengan ilmunya, jauh sekali untuk memperjuangkannya. Dia akan menjadi orang alim yang tidak beramal dengan ilmunya. Dia akan menjadi jumud dan beku. Walaupun dia tahu bagaimana hendak menyusun langkah, tetapi dia tidak mempunyai kemauan dan kekuatan dalaman untuk bergerak.
Peranan Kepimpinan
Kepimpinan melibatkan didikan, panduan, contoh dan suri teladan. Tentang bagaimana ilmu itu dapat dan patut diamalkan. Tentang siapa yang patut dicontohi dalam mengamalkan ilmu. Tanpa ada pimpinan dari seorang pemimpin sebagai contoh atau model, sukar ilmu dapat difahami lebih-lebih lagi untuk diamalkan dan dihayati.
Tanpa pimpinan, ilmu akan hanya tinggal ilmu. Itu sebabnya di dalam agama, dikirim Rasul yang diberi atau yang membawa kitab. Bukan kitab saja yang dihantar tanpa Rasul. Kalau kitab saja yang dihantar, maka tidak akan ada contoh atau role-model untuk diikuti. Tanpa contoh dan role-model, mustahil ilmu dapat difahami dan diamalkan.
Dalam hendak mengamalkan ilmu dan dalam hendak menjadi seorang muslim yang sempurna, contoh fisik atau kepimpinan sangat perlu. Semua bentuk peranan ini mesti ada. Tidak ada satu yang boleh ditolak. Barulah ia boleh lengkap melengkapkan. Peranan roh dan akal mesti bergabung dan contoh atau pimpinan mesti dicari.
Inilah ramuan-ramuan yang perlu untuk menjadi seorang Muslim yang sempurna. Kalau ramuan ini tidak cukup, usaha untuk menjadi seorang Muslim yang sempurna akan menjadi sia-sia. Lebih-lebih lagilah untuk menjadi seorang yang Mukmin yang bertaqwa. Sebab orang Mukmin yang bertaqwa itu, mesti sempurna Islamnya terlebih dahulu.

Sya’ir Arab – Sastra Islami

Jangan berbicara tanpa ‘ilmu / tanpa dalil ::

Apabila pondasi (akar)nya tidak kuat
Maka cabangnya pun akan demikian sepanjang masa

Jika para pendakwa tidak menopang dalilnya dengan argumentasi
Maka dia berada di atas selemah-lemahnya dalil

Para pendakwa yang tidak menopang dakwaannya dengan argumentasi
Maka dia hanyalah para pendakwa belaka

Memaksa

Apabila tidak ada yang lain melainkan hanya tombak untuk dikendarai
Maka tidak ada jalan lain bagi yang terpaksa kecuali menaikinya.

Bodoh

Semoga Alloh melindungi dari bidikan anak panah mereka
Sungguh naïf orang yang membidikkan anak panahnya ke bulan

Mereka berucap suatu ucapan yang mereka sendiri tidak memahaminya
Dan bila dikatakan: “buktikanlah!” maka mereka tidak mampu membuktikannya

Saat Selesai Menulis

Ketika saya menulis saya yakin
Bahwa tanganku akan binasa sedang tulisanku kekal
Dan saya tahu bahwa Alloh pasti akan menanyaiku
Aduhai, apakah nanti jawabnya

Curang / Standard Ganda

Apakah pohon besar itu haram bagi burung bulbul
Tetapi halal bagi burung jenis lainnya

Jangan Mencari Masalah

Bila rumahmu terbuat dari kaca
Maka jangan lempari rumah orang lain dengan batu

Jika Selalu Salah Faham

Berapa banyak orang yang mencela ucapan yang benar
Sebabnya karena pemahaman yang salah/buruk

Seandainya kamu faham ucapanku niscaya kamu akan memaafkanku
Atau aku mengetahui ucapanmu maka aku mengkritikmu
Tetapi engkau tidak faham ucapanku sehingga mencelaku
Dan aku tahu bahwa kamu tidak faham maka aku memaafkanmu

Tugasku adalah mengukir bait-bait syair dari sumbernya
Dan bukanlah tugasku jika sapi itu tidak paham

Dusta

“Maha Suci Allah, Ini sungguh adalah suatu kedustaan yang besar.”

Di sisi kalian dusta itu sangat murah harganya
Tanpa ditakar dan ditimbang mereka menghamburkannya

Jika Tidak Mengerti (Bingung)

Apabila engkau tidak melihat bulan sabit maka serahkanlah
Kepada manusia yang melihatnya dengan mata kepala

Janganlah engkau menyelam ke suatu pembicaraan
yang engkau tidak berhak mendengarkannya

Kijang itu begitu banyak di hadapan Khirasy (sebangsa serigala)
Sehingga dia tidak tahu mana yang harus diburu terlebih dahulu

Waktu akan menampakkan apa yang tidak kamu ketahui
Dan datang memberimu berita tentang apa yang tak kamu ketahui

Setiap ucapan ada tempatnya, dan setiap tempat ada ucapannya tersendiri

Tidak Sejalan

Dia berjalan ke timur dan aku berjalan ke barat
Aduhai alangkah jauhnya timur dan barat

Dia berjalan ke arah timur dan aku berjalan ke arah barat
Kapankah akan bertemu yang ke timur dengan yang ke barat ?!

Semua mengaku-ngaku punya hubungan dengan Laila
Namun Laila memungkiri semua pengaku-akuan itu

Pedang itu tidak memuji setiap orang yang membawanya

Cukuplah bagi kalian perbedaan diantara kita
Dan setiap bejana memercikkan isinya

Menolak Kebenaran

Pandangan simpati menutup segala cela
Sebagaimana pandangan benci menampakkan segala cacat

Barangsiapa yang merasa sakit mulutnya
Niscaya air yang tawar akan terasa pahit baginya

Jika engkau tidak tahu maka ini musibah
Dan apabila engkau tahu maka musibahnya lebih parah

Jika engkau tidak tahu maka ini musibah
Dan apabila engkau tahu maka musibahnya lebih parah

Betapa banyak buku yang telah kubaca
Kukatakan di dalam hati, semuanya kubenarkan
Kemudian tatkala kutelaah untuk kali kedua
Kutemui kesalahan maka kubenahi (agar benar)

Mencela Ulama Ahlus Sunnah

“Ketahuilah semoga engkau dirahmati Alloh, bahwa daging para ulama itu beracun”
[Imam Ibnu Asakir dalam Tabyin Kadzibil Muftari. Melalui perantaraan al-Aqwaal hal. 2]

Jaga lidahmu untuk berujar dari petaka
Sebab petaka itu bergantung pada ucapan

Tempuhlah Jalan Keselamatan

Kau dambakan keselamatan, tapi engkau tak menempuh jalurnya
Sungguh bahtera tak kan pernah berlayar di daratan

Kebenaran itu akan menang dan mendapat ujian,
maka janganlah heran, sebab ini adalah sunnah ar-Rahman (sunnatullah)

Tergesa-gesa

“Barang siapa yang tergesa-gesa ingin memetik sesuatu sebelum saatnya,
niscaya ia akan dihukumi dengan kegagalan mendapatkannya.”

Jangan Ikuti Hawa Nafsu

Hawa nafsu itu bagaikan anak kecil, bila kau manjakan maka sampai besar
ia akan terus senang menyusu dan bila kau hentikan maka akan berhenti

Nasehat Ibnu Qayyim [dalam Madarijus Salikin (III/200)]

“Apabila seorang mukmin menghendaki supaya Alloh menganugerahinya bashiroh (ilmu yang mendalam) di dalam agama, pengetahuan akan sunnah Rasul-Nya dan pemahaman akan kitab-Nya dan diperlihatkan hawa nafsu, bid’ah, kesesatan dan jauhnya manusia dari shirothol mustaqim, jalannya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan para sahabatnya. Apabila ia menghendaki untuk menempuh jalan ini, maka hendaklah ia persiapkan dirinya untuk dicemooh oleh orang-orang bodoh dan ahlul bid’ah, dicela, dihina dan ditahdzir oleh mereka. Sebagaimana pendahulu mereka melakukannya kepada panutan dan imam kita Shallallahu ‘alaihi wa Salam.

Adapun apabila ia menyeru kepada hal ini dan mencemooh apa-apa yang ada pada mereka, maka mereka akan murka dan membuat makar kepadanya…

Sehingga dirinya menjadi orang yang :

Asing di dalam agamanya dikarenakan rusaknya agama mereka

Asing di dalam berpegangteguhnya ia kepada sunnah dikarenakan berpegangnya mereka dengan kebid’ahan

Asing di dalam aqidahnya dikarenakan rusaknya aqidah mereka

Asing di dalam sholatnya dikarenakan rusaknya sholat mereka

Asing di dalam manhajnya dikarenakan sesat dan rusaknya manhaj mereka

Asing di dalam penisbatannya dikarenakan berbedanya penisbatan mereka dengannya

Asing di dalam pergaulannya terhadap mereka dikarenakan ia mempergauli mereka di atas apa yang tidak disenangi hawa nafsu mereka

Kesimpulannya: ia adalah orang yang asing di dalam urusan dunia dan akhiratnya, yang masyarakat tidak ada yang mau menolong dan membantunya.

Karena dirinya adalah :

Seorang yang berilmu di tengah-tengah orang yang bodoh

Penganut sunnah di tengah-tengah pelaku bid’ah

Penyeru kepada Alloh dan Rasul-Nya di tengah-tengah penyeru hawa nafsu dan bid’ah

Penyeru kepada yang ma’ruf dan pencegah dari yang mungkar di tengah-tengah kaum yang menganggap suatu hal yang ma’ruf sebagai kemungkaran dan suatu hal yang mungkar sebagai ma’ruf.”

Source : http://islam-download.net/artikel-islami/syair-arab-sastra-islami.html

ETIKA BERBICARA



Hendaknya pembicaran selalu di dalam kebaikan. Alloh Subhaanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya:
"Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisik-bisikan mereka, kecuali bisik-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah atau berbuat ma`ruf, atau mengadakan perdamaian diantara manusia”. (An-Nisa: 114).

hendaknya pembicaran dengan suara yang dapat dide-ngar, tidak terlalu keras dan tidak pula terlalu rendah, ungkapannya jelas dapat difahami oleh semua orang dan tidak dibuat-buat atau dipaksa-paksakan.

Jangan membicarakan sesuatu yang tidak berguna bagimu. Hadits Rasululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyatakan: “Termasuk kebaikan islamnya seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).

Janganlah kamu membicarakan semua apa yang kamu dengar. Abu Hurairah Radhiallaahu ‘anhu di dalam hadisnya menuturkan : Rasululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Cukuplah menjadi suatu dosa bagi seseorang yaitu apabila ia membicarakan semua apa yang telah ia dengar”.(HR. Muslim)

Menghindari perdebatan dan saling membantah, sekali-pun kamu berada di fihak yang benar dan menjauhi perkataan dusta sekalipun bercanda. Rasululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku adalah penjamin sebuah istana di taman surga bagi siapa saja yang menghindari bertikaian (perdebatan) sekalipun ia benar; dan (penjamin) istana di tengah-tengah surga bagi siapa saja yang meninggalkan dusta sekalipun bercanda”. (HR. Abu Daud dan dinilai hasan oleh Al-Albani).

Tenang dalam berbicara dan tidak tergesa-gesa. Aisyah Radhiallaahu ‘anha. telah menuturkan: “Sesungguhnya Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila membicarakan suatu pembicaraan, sekiranya ada orang yang menghitungnya, niscaya ia dapat menghitungnya”. (Mutta-faq’alaih).

Menghindari perkataan jorok (keji). Rasululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seorang mu’min itu pencela atau pengutuk atau keji pembicaraannya”. (HR. Al-Bukhari di dalam Al-Adab Mufrad, dan dishahihkan oleh Al-Albani).

Menghindari sikap memaksakan diri dan banyak bicara di dalam berbicara. Di dalam hadits Jabir Radhiallaahu ‘anhu disebutkan: “Dan sesungguhnya manusia yang paling aku benci dan yang paling jauh dariku di hari Kiamat kelak adalah orang yang banyak bicara, orang yang berpura-pura fasih dan orang-orang yang mutafaihiqun”. Para shahabat bertanya: Wahai Rasulllah, apa arti mutafaihiqun? Nabi menjawab: “Orang-orang yang sombong”. (HR. At-Turmudzi, dinilai hasan oleh Al-Albani).
Menghindari perbuatan menggunjing (ghibah) dan mengadu domba. Alloh Subhaanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya: “Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain”.(Al-Hujurat: 12).

Mendengarkan pembicaraan orang lain dengan baik dan tidak memotongnya, juga tidak menampakkan bahwa kamu mengetahui apa yang dibicarakannya, tidak menganggap rendah pendapatnya atau mendustakannya.

Jangan memonopoli dalam berbicara, tetapi berikanlah kesempatan kepada orang lain untuk berbicara.

Menghindari perkataan kasar, keras dan ucapan yang menyakitkan perasaan dan tidak mencari-cari kesalahan pembicaraan orang lain dan kekeliruannya, karena hal tersebut dapat mengundang kebencian, permusuhan dan pertentangan.

Menghindari sikap mengejek, memperolok-olok dan memandang rendah orang yang berbicara. Alloh Subhaanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokan), dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokan) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokan). (Al-Hujurat: 11).

(Sumber: Kitab “Etika Kehidupan Muslim Sehari-hari” By : Al-Qismu Al-Ilmi-Dar Al-Wathan)

http://etikaislam.wordpress.com/2007/07/15/etika-berbicara/#more-11